Pendekar Amanah Rakyat Indonesia

 

Cermin Lopa buat Pejabat Republik

SUNGGUH mulia Tuhan memperlakukan Prof. Dr. Haji Baharuddin Lopa. Ia dipanggil sang Pencipta pada Rabu dini hari pekan lalu, tak berapa lama setelah menunaikan ibadah umrah di Tanah Suci Mekah. Kepercayaan Islam meyakini, begitu seseorang selesai menjalankan ibadah itu, ia putih bersih dari dosa, sebersih bayi yang baru lahir.

Jumat pekan lalu, ketika prosesi pemakaman berlangsung di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, kemuliaan yang lain didapatnya: ia diberi Bintang Mahaputra oleh Presiden Abdurrahman Wahid-penghargaan tertinggi untuk jasanya kepada Republik. Orang akan mengenang makamnya sebagai sebuah monumen tentang pergulatan negeri ini membebaskan dirinya dari belitan korupsi. Penegak hukum tanpa kompromi yang luar biasa bersih itu terbaring di liang nomor 100. Di sebelahnya ada Ibnu Sutowo, bekas Direktur Utama Pertamina, tokoh yang mengingatkan rakyat akan megakorupsi di perusahaan minyak negara yang nyaris menenggelamkan RI.

Kematiannya diratapi banyak orang. Bendera-bendera diturunkan setengah tiang. Skala liputan media tentangnya hanya bisa ditandingi peristiwa meninggalnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Tien Soeharto. Rabu dini hari pekan lalu-sehari setelah penyumbatan jantung merenggut jiwanya di Rumah Sakit Al-Hamadi, Riyadh, Arab Saudi. Riuh lelang ikan di Paotere, Makassar, digantikan cerita duka para nelayan tentang kepergiannya.

Baru dilantik 1 Juni kemarin sebagai Jaksa Agung, putra Mandar kelahiran Pambusuang, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935 ini menjadi tumpuan harapan banyak kalangan untuk menegakkan hukum yang lama terkulai. Keraguan sementara orang bahwa pengangkatannya cuma didasari kepentingan politik Presiden Abdurrahman dijawabnya dengan kerja keras. Langsung tancap gas, ia memacu dirinya kelewat keras di usianya yang sudah 66 tahun. Tiap hari, ia masuk kantor pukul 08.00 dan pulang ke rumah pukul 16.00. Tapi ini cuma untuk tidur sore. Katanya, supaya malam hari ia bisa melek bekerja lagi. Pukul 19.30, ia kembali ke kantornya sampai larut malam. Kadang sampai pukul dua dini hari.

Pribadinya yang sederhana mewakili kerinduan banyak orang akan kehadiran pejabat bersih, yang makin langka di negeri keempat paling korup di dunia ini.

Tak seperti para petinggi Republik yang tiba-tiba saja kebanjiran “hibah” semasa menjabat, Lopa mesti menabung sen demi sen gajinya untuk merenovasi rumah sederhananya di pinggiran Kota Makassar, di Jalan Merdeka 4. Salah satu tabungannya adalah sebuah celengan berisi uang receh. Abraham Samad, pengacara Ketua Komite Antikorupsi Sulawesi Selatan, bercerita pernah melihat Lopa membuka sejumlah celengannya. Ternyata uang itu belum cukup untuk membeli balok kayu dan batu. “Terpaksa pembangunan rumahnya ditunda dulu,” tuturnya mengenang. Padahal, ketika itu Lopa telah menjabat sebagai Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan (Dirjen Lapas).

Selain dari gaji, ia punya mata pencaharian lain. Bukan menjadi konsultan atau komisaris perusahaan konglomerat, melainkan membuka wartel dengan lima bilik telepon dan penyewaan playstation di samping rumahnya di Pondokbambu, Jakarta. Ia juga rajin menulis kolom di berbagai majalah dan harian. Ia terang-terangan mengakui, itu caranya menambah penghasilan dari keringat sendiri.

Tiga minggu lalu, ia menelepon redaksi majalah ini, menanyakan kolom yang ia kirim tapi belum dimuat TEMPO. Redaksi memang nyaris menolak kolom itu. Alasan kami, kolom itu aneh, Lopa tiba-tiba menulis soal narkoba. Isinya juga biasa saja. Kami bisa saja menolaknya, tapi kami tahu persis Lopa sering perlu uang untuk bertahan dengan kejujurannya. Akhirnya, redaksi sepakat menugasi redaktur kolom mewawancarai Lopa dan menambah “kedalaman” kolom itu. Jumat siang, 15 Juni, justru ia yang menelepon kami. “Apa yang mau kau tanyakan?” katanya. Lalu, wawancara berlangsung setengah jam dengan redaktur kolom Diah Purnomowati. “Nah, kau tambah-tambah sendirilah,” katanya waktu itu. Kolom narkoba itu kami muat di edisi 17, akhir Juni lalu. Ketika reporter TEMPO Setiyardi mendatanginya untuk wawancara setelah kejadian itu, Lopa punya penjelasan menarik mengapa ia mendadak menulis narkoba: “Biar orang tahu Jaksa Agung juga paham soal-soal anak muda.” Ternyata, itulah kolom terakhirnya.

Honor ratusan ribu dari menulis kolom inilah yang sering diandalkannya untuk memperbaiki ini dan itu di rumahnya. Di tempat tinggalnya itu, listrik sering anjlok dan padam kalau setrika, TV, dan kulkas dinyalakan bersama-sama.

Reporter Setiyardi punya pengalaman unik. Tepat sehari setelah Lopa dilantik sebagai Menteri Kehakiman, Koran Tempo membuat karikatur dirinya di rubrik Portal-karikatur di pojok kiri bawah Koran Tempo. Dalam karikatur itu digambarkan Lopa bagai gladiator yang siap menusuk lawannya, cuma pedangnya bengkok dan mengerut. Sebuah sindiran yang “kena” untuk melukiskan kekhawatiran orang bahwa ia “dipasang” Presiden Abdurrahman sebagai alat politik kekuasaan. Karikatur itu mengadopsi gaya (dan busana Romawi) aktor Russel Crowe dalam film Gladiator. Nah, begitu Setiyardi datang ke rumah Lopa, sang tuan rumah bertanya dengan wajah kencang, “Siapa yang gambar saya begini?” Setiyardi agak gugup, ia khawatir Lopa marah dan wawancara gagal. Maka, ia menjawab, “Wah, itu teman-teman di koran, Pak.” Ternyata, Lopa malah bilang, “Ini bagus sekali. Tolong kau bikin besar buat saya, baru kau boleh wawancara.” Desainer Koran Tempo akhirnya mencetak karikatur itu dalam ukuran besar dan membingkainya. Sampai sekarang, karikatur Koran Tempo Edisi 4 April 2001 itu terpajang di ruang tengah rumahnya.

Kisah pengusaha Jusuf Kalla memperlihatkan Lopa bukan tipe pejabat yang doyan meminta upeti, apalagi “memeras” kiri-kanan. Suatu hari, pengusaha pemegang agen tunggal Toyota di kawasan timur Indonesia ini di- telepon Lopa. Ia mau membeli mobil. Di benak Jusuf, sebagai Dirjen Lapas, Lopa pasti mau sedan kelas satu. Toyota Crown ia tawarkan. Tapi Lopa malah setengah menjerit mendengar harganya, yang sekitar Rp 100 juta itu. “Mahal sekali. Ada yang murah?” kata Lopa. Cressida seharga Rp 60 juta pun masih dianggap mahal. Akhirnya, Jusuf menyodorkan Corona senilai Rp 30 juta. Harganya tak ia sebutkan, karena ia berniat memberikannya untuk Lopa. “Begini saja. Tidak usah bicara harga. Bapak kan perlu mobil. Dan jangan khawatir, saya tidak ada hubungan bisnis dengan lembaga pemasyarakatan. Saya kirim mobil itu besok ke Jakarta,” kata Jusuf. Lopa kontan menolak. Yang lucu, malah Jusuf si penjual yang sampai menawar harga. “Begini saja. Saya kan pemilik mobil, jadi terserah saya mau jual berapa. Saya mau jual mobil itu Rp 5 juta saja.” Lopa masih menolak, “Jangan begitu. Kau harus jual dengan harga sama seperti ke orang lain. Tapi kasih diskon, nanti saya cicil. Tapi jangan kau tagih.” Akhirnya, tawar-menawar aneh itu mencapai kata sepakat juga. Lopa akan membelinya Rp 25 juta. Uang muka sebesar Rp 5 juta langsung dibayar Lopa, diantar dalam bungkusan koran bekas. Selebihnya, betul-betul dicicil sampai lunas selama tiga tahun empat bulan. “Kadang-kadang dibayar Rp 500 ribu, kadang-kadang sejuta,” tutur Jusuf Kalla, mengenang.

Lopa juga seorang yang selalu ingat teman di kala susah. Ada cerita tatkala Lopa menjabat Dirjen Lembaga Pemasyarakatan (1988-1995). Ketika wartawan Kompas di Jakarta, Abun Sanda, diberitakan kecurian di rumahnya, Lopa segera meneleponnya. “Wah, saya baca kau kecurian. Saya sedih dan susah juga dengar itu.” Beberapa hari kemudian, Abun bertemu lagi dengan Dirjen Lembaga Pemasyarakatan itu untuk sebuah wawancara. “Abun, sudah tiga hari saya siapkan ini. Saya pikir ini bisa meringankan sedikit kesusahanmu. Ini pemberian dari orang tua kepada anaknya. Tak ada hubungannya dengan dunia kewartawananmu. Kau sedang di rantau, saya juga orang rantau.” Abun Sanda berpikir keras, apa yang mau diberikan Lopa kepadanya. Ternyata, “Ini ada enam gelas untuk minum. Saya beli sendiri di supermarket,” kata Lopa. Abun akhirnya menerima bingkisan itu karena tak mungkin menolak pemberian setulus itu. Ia amat meyakini, pemberian Lopa itu tentu tanpa pamrih dan benar-benar bagian dari kesederhanaan hidupnya yang terlalu sulit dijalankan oleh siapa pun.
Ia memang figur yang apa adanya. Ia pun selalu berpenampilan seadanya. Selepas magrib, di kantornya ia cuma bersandal jepit, mengenakan kain sarung, baju koko, dan songkok hitam yang selalu miring ke kanan-ala imam masjid di kampung-kampung suku Mandar.

Dalam sebuah wawancara khusus dengan mingguan ini, ia bahkan cuma mengenakan singlet putih. Menu makannya juga bukan buffet di hotel berbintang lima seperti pejabat kebanyakan. Suatu waktu, majalah ini tengah menunggunya untuk sebuah wawancara. Lopa masih ikut rapat di dalam. Hari sudah larut malam, TEMPO pun pamit sebentar untuk makan malam dulu. Lopa langsung menukas, “Oh, kau belum makan? Bagaimana kalau makan malamku kita bagi dua,” katanya serius, sambil menunjuk piring berisi nasi bungkus dengan lauk ikan laut goreng.

Pernah sekali waktu, ketika menjadi Dirjen Lapas, Lopa berkunjung ke Makassar. Sebelum salat Jumat, ia menitipkan tasnya. Tak banyak isinya, tapi ada sebuah tonjolan. “Ini pasti pistol,” pikir yang dititipi tas. Usai sembahyang, Lopa membuka tasnya. Ternyata itu cuma bekal kesukaannya: pisang rebus.

Yang juga melegenda adalah sikapnya yang sangat keras dalam urusan penggunaan fasilitas dinas. Jangankan tiba-tiba jadi pengusaha dengan segala fasilitas dan katebelece sang ayah, tujuh anak Lopa, bahkan juga istrinya, Indrawulan, ia larang menggunakan mobil dinasnya. Di Makassar, semasa menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Sul-Sel, warga terbiasa melihat mereka berangkat ke pasar dan kampus dengan pete-pete (angkutan kota).

Sikap keras itu juga yang ia berlakukan untuk dirinya sendiri. Pada suatu Minggu di tahun 1983, Lopa sang Kepala Kejaksaan Tinggi Sul-Sel diundang menjadi saksi pernikahan. Tuan rumah, Riri Amin Daud, yang juga kerabatnya, dan pagar ayu telah menunggu kedatangan tamu amat terhormat ini. Lama ditunggu, mobil dinas berpelat DD-3 tak kunjung muncul. Tahu-tahu suara Lopa sudah terdengar dari dalam rumah. Rupanya, ia bersama istrinya datang dengan pete-pete. “Ini hari Minggu, ini juga bukan acara dinas. Jadi, saya tak boleh datang dengan mobil kantor,” ia menjelaskan.

Bahkan telepon dinas di rumahnya selalu ia kunci. Lopa melarang istri ataupun anak-anaknya menggunakannya. Semasa menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sul-Sel, ia sampai memasang telepon koin di rumah jabatannya untuk memilah tagihan.

Aisyah, salah satu putrinya, juga punya pengalaman unik. Pada 1984, ia menjadi panitia sebuah seminar di kampusnya, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Kekurangan kursi, Aisyah datang ke kantor ayahnya untuk meminjam kursi di aula Kejaksaan Tinggi Sul-Sel. Sebagai jawabannya, Lopa menarik salah satu kursi lipat dan memperlihatkan tulisan di baliknya. “Ini, baca. Barang inventaris Kejaksaan Tinggi Sul-Sel, bukan inventaris Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Jelas toh, ini milik kejaksaan dan tidak bisa dipinjamkan,” kata Lopa.

Segala kesederhanaan itu jelas bukan karena Lopa hidup melarat. Ia mencatatkan kekayaan pribadinya senilai Rp 1,9 miliar dan simpanan US$ 20 ribu. Ia juga terlahir dari keluarga terpandang. Di tubuhnya mengalir darah Mara’dia (bangsawan Mandar). Kakeknya, Mandawari, adalah Raja Balangnipa-kerajaan besar di Mandar-yang sangat dicintai rakyatnya dan juga hidup sederhana. Sudah sejak usia 25 tahun ia menjadi pejabat. Ketika itu, ia diminta Panglima Komando Distrik Militer XIV Hasanuddin, Kolonel M. Jusuf, menjadi Bupati Majene. Ia dipilih karena dianggap sanggup melawan pemberontakan Andi Selle pada tahun 1960. Selain menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi di empat provinsi-Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Aceh, Kalimantan Barat, dan Ternate-doktor lulusan Universitas Diponegoro ini juga tercatat sebagai guru besar hukum di Universitas Ha- sanuddin.

Pendiriannya itu, kata Lopa kepada TEMPO ketika itu, karena ia berpegang pada ajaran agama. Salah satunya dari sebuah hadis Nabi yang berbunyi, “Sekalipun anakku Fatimah, kalau ia mencuri, kupotong tangannya.” Juga dari sebuah peristiwa tragis di Mandar ketika ia masih kanak-kanak. Di pengujung tahun 1930, di Balangnipa terjadi sebuah pembunuhan oleh seorang pemuda. Menurut hukum adat, ia harus diganjar hukuman mati. Nyawanya cuma bisa diselamatkan jika semua pabbicara (pemuka adat) setuju memberi keringanan. Enam dari tujuh pabbicara setuju meringankan hukuman. Cuma ada seorang yang bersikukuh menjatuhkan hukuman mati. Dia adalah Ketua Dewan Adat. Maka, hukuman mati pun dijatuhkan. Sang pemuda meregang nyawa di atas pangkuan sang Ketua Dewan Adat. Tak lain, ia adalah ibu kandung si pemuda sendiri. Kisah ini begitu tertanam di benak Lopa. ”Saya amat terkesan dengan kisah itu, bahwa penegakan hukum tak boleh terhalangi sekalipun karena alasan hubungan darah,” kata Lopa di banyak kesempatan.

Bob Hasan adalah salah satu pesakitan yang merasakan tangan keras Lopa. Si Raja Hutan ini tanpa ampun langsung di-Nusakambangan-kan tak lama setelah Lopa dilantik menjadi Menteri Kehakiman pada 8 Februari lalu.

Semasa menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Sul-Sel (1982-1986), “korbannya” adalah Tony Gozal, seorang pengusaha kaya dan salah satu “orang kuat Sul-Sel”. Tekanan dari segala penjuru tak digubrisnya. Tony ia jebloskan ke penjara dalam kasus penyelewengan tanah milik pemerintah daerah. Tengah gencar-gencarnya memeriksa Tony, Presiden Soeharto bersama Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew bertemu di Makassar. Tempatnya tak lain di Hotel Makassar Golden, hotel termewah di Sul-Sel milik Tony. Lopa ikut menjemput Soeharto dan Lee di Bandara Hasanuddin. Tapi ia menolak mengantar sampai ke hotel dan tak mau datang ke jamuan makan malam yang dihadiri semua pejabat Sulawesi. “Tidak baik saya ke situ. Apa kata orang kalau saya datang ke hotel yang sedang saya sidik,” kata Lopa. Tony divonis bersalah dan meringkuk di Penjara Gunungsari. Buntutnya, Lopa terpental. Pada 1986, ia dimutasi menjadi staf ahli Menteri Kehakiman.

Lopa adalah seorang muslim taat. Ia adalah Ketua Yayasan Masjid Al-Hidayah, masjid dekat rumahnya di Jakarta. Daniel Dawam, seorang pengurus masjid, berkisah suatu saat masjid ini akan direnovasi. Panitia kebingungan mencari dana. Mendengar itu, Lopa, ketika itu telah menjabat Dirjen Lapas, langsung turun tangan. Selepas salat isya, map formulir sumbangan langsung ia edarkan sendiri dari pintu ke pintu. “Dalam tiga bulan, Pak Lopa mengumpulkan Rp 250 juta untuk pembangunan masjid,” Dawam mengenang.

Tapi ada dua hal yang merisaukannya: terlihat tua dan merengut. Karena itulah, usai diwawancarai mingguan ini, ia ngotot mengajak wartawan TEMPO mampir dulu ke rumahnya untuk mengambil foto favoritnya. Ini foto saat ia dilantik sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Di situ Lopa memang terlihat lebih muda dengan senyum yang mengembang. “Saya ingin orang melihat saya sedang tersenyum,” kata Lopa. Ia tak begitu peduli soal kesehatannya. Rokok kesayangannya, Dunhill filter, tak lepas dari jarinya. Ketika ditanya TEMPO soal kesehatannya, ia cuma menyeringai sambil berkata, “Sudahlah, tak usah bicara soal kesehatan. Nyawa manusia sudah ada yang mengatur.” Dan Tuhan telah mengaturkan sebuah kematian yang amat mulia buatnya.

sekilas mengenak sang Pendekar:
Baharuddin Lopa, alias Barlop, demikian pendekar hukum itu biasa dipanggil, lahir di rumah panggung berukuran kurang lebih 9 x 11 meter, di Dusun Pambusuang, Sulawesi Selatan, 27 Agustus 1935. Rumah itu sampai sekarang masih kelihatan sederhana untuk ukuran keluarga seorang mantan Menteri Kehakiman dan HAM dan Jaksa Agung. Ibunda pria perokok berat ini bernama Samarinah. Di rumah yang sama juga lahir seorang bekas menteri, Basri Hasanuddin. Lopa dan Basri punya hubungan darah sepupu satu.

Dalam usia 25, Baharuddin Lopa, sudah menjadi bupati di Majene, Sulawesi Selatan. Ia, ketika itu, gigih menentang Andi Selle, Komandan Batalyon 710 yang terkenal kaya karena melakukan penyelundupan. Ketika menjabat Jaksa Tinggi Makassar, ia memburu seorang koruptor kakap, akibatnya ia masuk kotak, hanya menjadi penasihat menteri. Ia pernah memburu kasus mantan Presiden Soeharto dengan mendatangi teman-temannya di Kejaksaan Agung, di saat ia menjabat Sekretaris Jenderal Komnas HAM. Lopa menanyakan kemajuan proses perkara Pak Harto. Memang akhirnya kasus Pak Harto diajukan ke pengadilan, meskipun hakim gagal mengadilinya karena kendala kesehatan.


Wahai orang yang sdg duduk di kekuasaan, takar dirimu dengan Hugeng dan Lopa

Leave a comment