Apa kata Baharuddin Lopa ???

Bicaranya terkesan hati-hati. Apalagi jika dikejar dengan berbagai pertanyaan yang lebih tajam menyangkut hasil dan cara kerja tim pencari fakta Komnas HAM–yang diketuainya. Semuanya ia ucapkan dengan kalimat pendek dan terpatah-patah. Tapi bisa dimaklumi jika mantan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Prof. Dr. Baharudin Lopa mengambil sikap seperti ini. Karena berbicara, apalagi memberi pernyataan resmi, tentang insiden 27 Juli itu, tergolong sangat sensitif: pertaruhan sekaligus pertarungan pelbagai kepentingan.
Kendati dihadapkan pada situasi serba sulit, toh Lopa, begitu ia biasa dipanggil, tetap bersikukuh dengan prinsip kemandirian lembaga yang dibentuk oleh Presiden RI pada 7 Desember 1993. Sejauh mana Komnas HAM mampu berdiri tegak dengan prinsip-prinsip yang diyakininya itu? Apa saja kendalanya secara politis? Untuk memperoleh gambaran itu, Hani Pudjiarti dari TEMPO Interaktif, mencoba mencari tahu, sekaligus mewawancarai tokoh yang belakangan juga populer menjadi penengah Insiden Makasar Berdarah yang menewaskan tiga mahasiswa [22 April].

Bagaimana prinsip dan metodologi Komnas HAM dalam melaksanakan tugas-tugasnya?

BL: Ada lima prinsip yang harus diterapkan setiap kami menjalankan tugas. Pertama, pendekatan yang faktual, artinya kami menyelesaikan masalah itu berdasarkan kebenaran fakta. Jadi, kami tidak bisa percaya begitu saja terhadap setiap pengaduan. Kami harus meyakinkannya dengan cara antara lain terjun ke lapangan secara langsung.

Kedua, prinsip persuasif. Artinya, serumit apa pun masalah yang kami hadapi, prioritas penyelesaiannya melalui musyawarah. Karena musyawarah berarti semua pihak yang bertikai ikhlas menerima penyelesaian.

Ketiga, prinsip kemitraan. Maksudnya, Komnas HAM harus mampu berkomunikasi dengan siapa pun, termasuk ABRI, jajaran eksekutif dan yudikatif. Karena kami menganggap mereka semua sebagai mitra, bukan atasan atau bawahan.

Keempat, prinsip kemandirian. Artinya, apa pun yang kami lakukan dan dengan siapa pun kami berhubungan, Komnas HAM harus menjaga sikap independen. Kami berusaha untuk tetap tidak dipengaruhi oleh siapa pun yang dapat merusak objektifitas dalam mengambil langkah-langkah dan keputusan kami.

Kelima, prinsip adil dan objektif. Maksudnya, semua kebijakan dan ketetapan yang kami ambil harus seadil dan seobjektif mungkin.

Kalau Komnas HAM konsisten memakai lima prinsip tadi, mengapa kasus perpecahan PDI berbuntut sampai seperti ini?

BL: Kami tahu dan sadari itu. Kami sebenarnya sudah melakukan kelima prinsip tersebut, terutama prinsip persuasif. Kami sudah mengajak mereka (kubu Megawati dan Soerjadi, red.) berunding. Bahkan sehari sebelum peristiwa pengambilalihan itu , ada usaha kedua belah pihak untuk dipertemukan. Tapi besoknya [27 Juli] saya ditelepon, kantor DPP sudah diserbu.

Sebenarnya, selain lima prinsip tersebut di atas, masih ada jalur untuk menyelesaikan masalah. Maksudnya, jalur pertama adalah menciptakan kesepakatan satu sama lain, sedangkan jalur kedua adalah jalur hukum.

Kemudian digunakan juga pendekatan tiga teknik. Maksudnya, meliputi check, recheck, dan cross check. Inilah yang mesti dilakukan Komnas HAM dalam melakukan pengolahan untuk memberikan kesimpulan yang relatif dan akurat.

Tentang insiden 27 Juli lalu, berapa banyak korban meninggal yang ditemukan Komnas HAM?

BL: Itu yang sekarang masih harus ditunggu, bersabarlah Insya Allah, kita :akan umumkan.

Apakah jumlah korban mati lebih dari 40, seperti yang didesas-desuskan?

BL: Kami belum tahu, nanti dalam waktu dekat kami akan umumkan. Kami kan belum selesai. Itu bisa sama, bisa berbeda. Atau lebih dari pemerintah atau kurang dari pemerintah. Lihat sajalah nanti.

Bagaimana hasil pertemuan dengan Menko Polkam pada Selasa, 20 Agustus?

BL: Biasa-biasa saja. Komnas selalu melakukan pertemuan rutin sekali dua bulan.

Setelah tim fact finding dibentuk [28 Juli], berapa kali Komnas bertemu resmi dengan pemerintah?

BL: Baru satu kali, yaitu bertemu Menko Polkam bersama jajarannya.

Kenapa baru sekali. Apa sudah cukup?

BL: Saya kira sudah cukup. Kan pada waktu itu hadir pejabat dari Depkeh, Kejakasaan Agung, Depdagri, Kasospol, dan sebagainya.

Pernyataan Menko Polkam untuk mengutamakan kepentingan nasional, dapatkah itu diartikan sebagai upaya mengontrol kemandirian Komnas?

BL: Kok, sudah berpolitik ria? Apa apa betul beliau bilang begitu? Kalau beliau bilang begitu, memang wajar, karena kita semua perlu mengabdi untuk kepentingan nasional.

Maksudnya?

BL: Buat Komnas HAM apapun tugas yang harus diselesaikan untuk mentutaskan kasus-kasus yang masuk, selalu berdasarkan pada kepentingan rakyat dan bangsa, jadi bukan mengutamakan kepentingan segolongan saja.

Hampir tiga tahun usia Komnas HAM, apakah independensi tetap dipertahankan?

BL: Ya, itu modal pokok dan akar kami. Kalau independensi sudah goyah, maka segalanya akan ikut goyah juga.

Dana Komnas HAM kan berasal dari Setneg. Apa hal itu tidak khawatir mempengaruhi kemandirian?

BL: Khawatir apa? Itu dana dari rakyat

Mengenai proses audiensi dengan aparat ABRI misalnya?

BL: Ya, biasa-biasa saja, selalu ada titik temunya.

Selama dua tahun ini kasus apa yang paling banyak ditangani oleh Komnas HAM?

BL: Bila dibandingkan 1994-1995 komposisi pelanggaran hak asasi manusia tetap sama. Penanganan kasus tanah menduduki tempat teratas, dan meningkat 66 persen. Kasus perburuhan dan kepegawaian menempati peringkat kedua . Urutan ketiga pelanggaran yang tidak terpuji oleh oknum aparatnya.

Jadi tiga klasifikasi ini masih sama, dan ini juga masih belum bisa diketahui secara pasti bahwa pelanggaran hak azasi manusia menurun atau justru meningkat. Ada sejumlah kasus yang ditangani yang merupakan kasus yang terjadi puluhan tahun yang lalu bercampur dengan munculnya kasus baru. Dan ini menandakan ada kecenderungan makin menurunnya pelanggaran hak asasi manusia.

Apa langkah Komnas HAM ke depan?

BL: Ke depan Komnas HAM lebih bersifat strategis dan truktural. Maksudnya, sambil tetap mentuntaskan kasus-kasus yang datang dari berbagai daerah, kita akan melangkah, juga mengolah perundang-undangan yang potensial memudahkan terjadi pelanggaran hak azasi manusia untuk diusulkan supaya disempurnakan.